Dalam merekronstruksi kembali masa lampau terkadang kita dihadapkan kepada kurangnya sumber-sumber baik tertulis maupun tidak tertulis. Rekonstruksi Desa Poyowa Besar berdsarkan pada, pertama faktor sosial berupa perilaku interaksi sosial, kedua fakta mental berupa keyakinan masyarakat sejak turun temurun bahwa memang sesuatu itu benar adanya, ketiga faktor artefak berupa tinggalan-tinggalan yang masih ada.
Menurut penuturan leluhur secara turun-temurun Poyowa Besar masa lampau (prasejarah) telah dihuni oleh dua kelompok masyarakat yang masih memiliki ikatan keluarga. Mereka mendiami wilayah yang terpisah oleh sungai Yantaton sebelah utara dan sebelah barat sungai didiami oleh kelompok SINUNTUNGAN, sedangkan sebelah timur dan selatan oleh kelompok DINDINGAN. Mereka hidup berburu dan menanam umbi-umbian dan biji-bijian. Ketika dalam perburuannya ada yang berhasil menangkap binatang hasil buruan yang sangat besar, maka oleh mereka tangkapan itu dibagi dua atau poyodua.
Tangkapan itu besar atau noloben. Berdasarkan terminologi dari kata Dua dan Moloben maka mereka sepakat nama pemukiman mereka dinamakan Poyowa Moloben (Poyowa Besar). Nama ini melambangkan persaudaraan dan saling memberi karena mereka masih ada ikatan kekeluargaan. Lambat laun jumlah mereka makin bertambah. Seiring dengan perjalanan zaman dan adanya kontak dengan dunia luar terjadilah perubahan terutama dalam segi kehidupan. Mereka melebarkan daerah perburuan dan dengan kawalan Bogani “Bantong”.
Dan “Oyotang”. Rasa percaya diri terus tumbuh sehingga terjadilah saling serang dengan kelompok masyarakat yang bukan komunitasnya para leluhur Poyowa Besar terus menerus memperluas kekuasaan dengan tidak member kesempatan kepada warga masyarakat lain untuk menempati wilayah yang diinginkan oleh leluhur Poyowa Besar.
Dan sebagai bukti sampai saat sekarang tidak ada komunitas luar Poyowa Besar yang perkebunannya ada ditengah-tengah perkebunan masyarakat Poyowa kecuali masuk menjadi warga Poyowa Besar. Poyowa Besar adalah termasuk Desa yang tergolong tua di dataran Mongondow. Desa-desa lain adalah Kobo’, Kotobangon, Lokuyu’, Motoboi Kecil, Matali, Sebagai mana tertulis dalam sejarah lokal Bolaang Mongondow bahwa para Bogani adalah pemimpin masing-masing kelompok masyarakat dan para Bogani pula yang bermusyawarah untuk mencari pemimpin diantara mereka yang disebut Punu’ mulai dari Punu’ Mokodoludut sampai Punu’ Tadohe.
Pada masa Punu’ Tadohe berkumpulah para Bogani disebelah pinggiran Bolaang Mongondow di bukit TUDU IN BAKID.Mereka berhasil membuat kesepakatan “DODANDIAN” Palako dan Kinalang yaitu semacam kontrak sosial antara Penguasa dan Rakyat, dan diperkuat oleh sumpah ( Odi-odi ). Dalam perjanjian itu dikatakan bahwa Kinalang akan mengayomi seluruh Rakyat sedangkan rakyat akan patuh pada perintah.
Dodandian ini sangat dipatuhi oleh rakyat dan penguasa pada waktu itu, dan tidak ada yang mengingkarinya.
Punu’ Tadohe memerintahkan setiap kelompok masyarakat yang tinggal diperkebunan (Lumad) harus memiliki tempat tinggal di Lipu’ (Desa). Jalan utama desa yang menghubungkan desa lain seperti, Kobo, Motoboi, dan Tabang. Rumah-rumah dibuat menghadap jalan desa. Pada tahun 1653 Raja pertama Datoe Binangkang berkuasa,Raja ini sangat dekat dengan penduduk Poyowa Besar waktu itu, sehingga menjelang ajalnya Ia berpesan agar jika meninggal dunia dimakamkam di RIGI’ dekat sungai Poyowa.
Pada masa pemerintahan Raja Yacobus Manoppo 20 Mei 1695 Lipu’ Poyowa Moloben termasuk Desa yang maju dan besar menurut ukuran waktu itu ( Pendeta Grafland dan Dr. Riedel dari Belanda ).
Tahun 1833 Raja Yacobus Manuel Manoppo diangkat jadi Raja dan ketika Ia masuk Islam dengan memperisteri anak seorang Mubalig Imam Tueko bernama Kilimago. Rakyat di Poyowa Besar juga mulai masuk agama Islam karena mereka patuh pada Raja. Kemajuan desa lebih meningkat lagi ketika Raja Abraham Sugeha (Andi Panungkelan) menjadi Raja, ia memiliki pengetahuan luas dibidang agama. Abraham Sugeha memerintahkan agar semua desa membuat Masjid, Alun-alun dan Bobakidan dalam satu kompleks. Maka rakyat berbondong-bondong saling bekerjasama bahkan rela memberikan tanahnya dijadikan lokasi pembangunan Masjid, Bobakidan dan lapangan (alun-alun). Lokasi Bobakidan dan Masjid sampai sekarang masi ditempat yang sama sekarang letak Poyowa Besar Satu, sedangkan alun-alun (lapangan) dipindahkan pada tahun 1972 Ke Lapangan Bogani. Tentang siapa pemimpin masyarakat waktu itu tidak diketahui karena arsip desa hilang terbakar pada masa pergolakan Permesta. Pada akhir abad 19 Raja menunjuk kepercayaannya melalui persetujuan rakyat menjadi pemimpin dan diberi nama Tahidi yaitu mata, telinga dan tangan Raja di setiap Desa.
Tahidi pertama Poyowa Besar adalah Muda Linsawang 1897-1904, kemudian ia digantikan oleh Salim Dompelek Makalalag dengan gelar atau sebutan Sangadi. Salim Makalalag memerintah Tahun 1904 sampai dengan 1910. Sangadi Salim sangat mendukung Raja Ridel Manuel Manoppo yang berpusat di Bolaang dan menolak kehadiran Controleur Belanda Cornelius Van Huizen yang bermarkas di Kota Baru (Poopo sekarang) Sangadi Salim menyerukan agar rakyat Poyowa Besar untuk menolak membayar pajak kepada Belanda bahkan memboikot setiap perintah yang datang dari Controleur Belanda. Menurut Belanda tindakan Sangadi Salim Makalalag sangat berbahaya karena member motivasi kepada sangadi-sangadi Desa lain di dataran Mongondow untuk memberontak.
Tindakan sangadi Salim didukung oleh orang-orang kuat waktu itu seperti Lomban Andu, setiap utusan Belanda yang datang selalu mendapat pelecehan fisik dan disuruh pulang, sehingga membuat penguasa Belanda marah. Belanda meminta agar sangadi Salim Makalalag dan Lomban Andu menyerahkan diri, namun keduanya menolak bahkan melakukan perlawanan fisik. Dengan tipu muslihat Belanda akhirnya menangkap seluruh anggota keluarga sangadi Salim dan Lomban Andu dengan ancaman akan dibunuh apabila keduanya tidak menyerahkan diri.
Demi kecintaan keduanya pada anak keturunannya maka akhirnya menyerahkan diri, sangadi Salim dibawah oleh Belanda sebagai tawanan politik di Poopo, sikap anti Belanda anti penjajahan sangadi Salim tunjukan dengan tidak makan dan tidak minum (mogok makan) sampai akhir hayat tahun 1911, dan oleh anak dan cucunya kuburnya dipugar pada tahun 1980. Demikian juga Lomban Andu setelah ditangkap dibuang ke Aceh dan 15 tahun kemudian ia dikembalikan oleh Belanda kekampung halamannya Poyowa Besar sampai wafat.
POYOWA BESAR DIMEKARKAN MENJADI DUA DESA
Desa Poyowa Besar merupakan Desa yang tergolong luas dan padat penduduknya, sehingga dalam mengatur urusan administrasi pemerintahan, kemasyarakatan serta pembangunan pemerintah Desa mengalami kesulitan, dalam rangka melayani urusan masyarakat. Permasalahan inilah yang menuntun kepala Desa Hasan Angkara bermusyawarah dengan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Tokoh Masyarakat perwakilan dari tiap-tiap Dusun dan bermufakat untuk mengusulkan pemekaran Desa. Hasil musyawarah kemudian dibuat usulan kepada Bupati Bolaang Mongondow (Drs Muda Mokoginta) dan DPRD KabupatenBolaang Mongondow Tahun 1995. Setelah berproses sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku maka usulan Pemerintah Desa dan Masyarakat disetujui bedasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Utara Nomor 46 tanggal 4 Maret 1996, sehingga Poyowa Besar menjadi Poyowa Besar Satu sebagai Desa Induk dan Poyowa Besar Dua sebagai Desa Persiapan. Sebagai Kepala Desa Persiapan ditunjuk salah satu Kepala Dusun yakni Muhlis A. Gilalom. Tiga belas bulan kemudian Desa Persiapan diresmikan menjadi Desa Definitip oleh Gubernur Sulawesi Utara Bapak E.E Mangindaan, berdasarkan surat keputusan Gubernur Nomor 68 tanggal 21 April 1997, sebagai Pejabat Kepala Desa Muhlis A. Gilalom. Hasan Angkara dicatat sebagai Tokoh Pemekaran Poyowa Besar karena dimasa kepemimpinannya pemekaran Desa terjadi.